Salah satu ciri suasana menjelang penghujung tahun adalah datangnya musim buah-buahan khas bumi pertiwi. Menjelang bulan September dan Oktober, pohon-pohon mangga yang tampak di jalan-jalan perumahan penduduk atau di wilayah pedesaan menampilkan buah-buahnya yang bergelantungan menarik mata siapa saja yang melihatnya. Demikian juga penjual buah nangka dan durian muncul berderet-deret di sepanjang jalan. Sementara itu, memasuki bulan November, pohon rambutan akan tampak mulai berbunga, memunculkan bulatan-bulatan mungil berwarna hijau berambut yang mengelompok di ujung dahan. Hal yang sama terjadi dengan pohon kelengkeng.
Saya tidak pandai bercocok tanam. Kalau pun saya memiliki pohon buah-buahan, saya hanya tahu menikmati pemandangan indah saat buah-buah yang bergelantungan siap untuk dipetik dan dinikmati. Tidak demikian halnya dengan suami saya. Sebagai orang yang tidak berlatar belakang pertanian, ia mempunyai pemahaman yang cukup baik tentang bercocok tanam, dan “bertangan dingin” bila berurusan dengan tanaman. Baginya, pohon buah-buahan tidak hanya menyajikan keasyikan yang berkaitan dengan saat memetik buah dan menikmatinya. Dengan ketelatenan yang besar, ia mengawali keasyikan sejak memilih bibit yang baik, dengan cara menyisihkan biji dari buah yang manis dan bagus, lalu menebar benih itu di sebuah pot atau polybag, merawatinya dengan pupuk kompos dan menyiraminya dengan teratur. Biji itu pun bertunas dan mulai terbentuk badan tanamannya. Ia rajin membuang tanaman liar yang mengganggu pertumbuhan tanaman mungil itu. Setelah cukup besar dan akarnya mulai kuat, ia memindahkan tanaman itu ke tanah yang lebih luas untuk melanjutkan perawatannya di tempat yang permanen. Akhirnya ketika tanaman buah itu cukup dewasa dan mulai menghasilkan buah yang bisa kami nikmati bersama, saya menyadari bahwa kegembiraan saya menikmatinya tidak sebesar kegembiraan dan kepuasan suami saya, yang mengusahakan pohon buah itu sejak masih berupa biji, merawatinya dengan cermat, dan menjaganya supaya selalu sehat. Saya percaya bahwa kepuasan tersendiri saat menikmati buahnya tidak dapat dibandingkan dengan kelelahan kerja saat menanam dan membesarkannya.
Penghujung tahun juga selalu identik dengan Adven. Minggu ini Gereja sedang memasuki minggu Adven yang ketiga. Peringatan peristiwa kelahiran Kristus Juru Selamat kita sudah semakin mendekat. Saya teringat tahun-tahun di mana masa Adven bagi saya sekedar datang dan kemudian berakhir tanpa saya sadari, dan tahu-tahu hari Natal tiba dengan segala kemeriahannya. Lagu-lagu natal yang meriah, kue-kue berhias yang memikat mata, pusat perbelanjaan dengan semua atributnya yang sangat menarik, dan daftar barang untuk dibeli sebagai hadiah bagi keluarga dan kerabat. Semua kemeriahan itu memang indah dan memberi nuansa tersendiri seputar perayaan Natal, dan saya menikmatinya. Tetapi ketika saya mengamati kandang Natal di altar gereja di mana patung bayi Yesus diletakkan pada malam Natal, tiba-tiba hati saya terasa sepi. Semua kemeriahan menjelang perayaan Natal itu terasa tidak sinkron dengan keheningan keluarga kudus Nazareth di kandang hewan itu. Saya bertanya-tanya dalam hati, apa dan siapa yang sebenarnya sedang saya rayakan.
Adven datang dan pergi, Natal tiba dan berlalu, saya tidak ingat apakah saya sudah menjadi lebih baik dan lebih mengasihi dibandingkan tahun-tahun yang berlalu, sementara Yesus sudah datang berkali-kali mengetuk hati saya dengan pesan kerinduan untuk lahir dan menetap di hati saya. Teringat oleh saya keindahan merawati tanaman sampai menghasilkan buah yang bisa dinikmati bersama, yang sering dilakukan oleh suami saya. Saya tidak merasakan kepuasan dan kegembiraan sebesar seperti yang ia alami, karena saya hanya sekedar memetik buah yang sudah jadi dan memakannya, tidak merasakan seninya memilih bibit, capeknya mencabuti rumput liar, dan kedisiplinan memberi pupuk dan menyiram. Rasa buah itu memang manis di lidah, enak dan memuaskan di perut, tetapi saya melewatkan saat-saat penuh usaha yang menghasilkan semua kemanisan itu. Karena saya hanya menjadi penonton, tidak terlibat dalam pengusahaan yang membuat bernilai keberhasilan dari sebuah usaha. Masa Adven sepertinya berlalu begitu saja dengan hambar, jika saya hanya menjadi penonton, tidak terlibat aktif di dalam menanggapi kesempatan indah yang diberikan Tuhan melalui Gereja-Nya, untuk menelisik apa yang masih harus saya benahi di hadapan Tuhan, melalui kegigihan merenungkan Firman-Nya setiap pagi, meluangkan waktu lebih banyak untuk berdoa dan merayakan Misa harian, serta berkumpul dengan saudara seiman untuk saling menguatkan komitmen kasih kita kepada-Nya. Melakukan semua usaha yang perlu, agar buah-buah kasih dan pertobatan yang memberi saya hidup, dapat saya petik dengan manis di hari kelahiran Yesus Tuhanku. Santo Yohanes Pemandi bahkan mengingatkan dengan keras, “Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, akan ditebang dan dibuang ke dalam api.” (Luk3:9)
Hadiah Natal terindah tidak saja berupa benda-benda yang dibungkus dengan cantik, atau hidangan lezat yang disiapkan dengan segenap jerih payah, tetapi bahwa hati saya sudah menjadi palungan yang paling empuk dan nyaman untuk Tuhan berbaring di hari kedatangan-Nya dan berdiam di sana, memberikan saya kekuatan untuk menghasilkan buah-buah kasih yang paling manis yang bisa dinikmati sesama di sekitar saya dan lebih khusus lagi, yang bisa dinikmati oleh Tuhan. Bahagianya bila kita bisa mempersembahkan hadiah paling indah bagi bayi Yesus. Hadiah persembahan hati yang rindu dan siap dibentuk oleh hikmat-Nya, hadiah khusus hasil kerja keras dan usaha pertobatan yang tak kenal lelah, bagi Dia yang telah sudi menjadi seperti kita dan hadir di tengah-tengah kita. Itulah sukacita yang dimaksudkan Tuhan untuk saya hayati di hari kelahiran-Nya, sukacita karena kemenangan atas segala godaan egoisme dan cinta diri. Sukacita karena berusaha mengasihi Tuhan dan sesama dengan lebih sungguh. “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasihKu itu. Jikalau kamu menuruti perintahKu, kamu akan tinggal di dalam kasihKu, seperti Aku menuruti perintah Bapaku dan tinggal di dalam kasihNya. Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacitaKu ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh. Inilah perintahku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.” (Yoh 15: 9-12).