Kamis, 22 Desember 2011

Perjuangan Adven, Keindahan Natal

Salah satu ciri suasana menjelang penghujung tahun adalah datangnya musim buah-buahan khas bumi pertiwi. Menjelang bulan September dan Oktober, pohon-pohon mangga yang tampak di jalan-jalan perumahan penduduk atau di wilayah pedesaan menampilkan buah-buahnya yang bergelantungan menarik mata siapa saja yang melihatnya. Demikian juga penjual buah nangka dan durian muncul berderet-deret di sepanjang jalan. Sementara itu, memasuki bulan November, pohon rambutan akan tampak mulai berbunga, memunculkan bulatan-bulatan mungil berwarna hijau berambut yang mengelompok di ujung dahan. Hal yang sama terjadi dengan pohon kelengkeng.

Saya tidak pandai bercocok tanam. Kalau pun saya memiliki pohon buah-buahan, saya hanya tahu menikmati pemandangan indah saat buah-buah yang bergelantungan siap untuk dipetik dan dinikmati. Tidak demikian halnya dengan suami saya. Sebagai orang yang tidak berlatar belakang pertanian, ia mempunyai pemahaman yang cukup baik tentang bercocok tanam, dan “bertangan dingin” bila berurusan dengan tanaman. Baginya, pohon buah-buahan tidak hanya menyajikan keasyikan yang berkaitan dengan saat memetik buah dan menikmatinya. Dengan ketelatenan yang besar, ia mengawali keasyikan sejak memilih bibit yang baik, dengan cara menyisihkan biji dari buah yang manis dan bagus, lalu menebar benih itu di sebuah pot atau polybag, merawatinya dengan pupuk kompos dan menyiraminya dengan teratur. Biji itu pun bertunas dan mulai terbentuk badan tanamannya. Ia rajin membuang tanaman liar yang mengganggu pertumbuhan tanaman mungil itu. Setelah cukup besar dan akarnya mulai kuat, ia memindahkan tanaman itu ke tanah yang lebih luas untuk melanjutkan perawatannya di tempat yang permanen. Akhirnya ketika tanaman buah itu cukup dewasa dan mulai menghasilkan buah yang bisa kami nikmati bersama, saya menyadari bahwa kegembiraan saya menikmatinya tidak sebesar kegembiraan dan kepuasan suami saya, yang mengusahakan pohon buah itu sejak masih berupa biji, merawatinya dengan cermat, dan menjaganya supaya selalu sehat. Saya percaya bahwa kepuasan tersendiri saat menikmati buahnya tidak dapat dibandingkan dengan kelelahan kerja saat menanam dan membesarkannya.

Penghujung tahun juga selalu identik dengan Adven. Minggu ini Gereja sedang memasuki minggu Adven yang ketiga. Peringatan peristiwa kelahiran Kristus Juru Selamat kita sudah semakin mendekat. Saya teringat tahun-tahun di mana masa Adven bagi saya sekedar datang dan kemudian berakhir tanpa saya sadari, dan tahu-tahu hari Natal tiba dengan segala kemeriahannya. Lagu-lagu natal yang meriah, kue-kue berhias yang memikat mata, pusat perbelanjaan dengan semua atributnya yang sangat menarik, dan daftar barang untuk dibeli sebagai hadiah bagi keluarga dan kerabat. Semua kemeriahan itu memang indah dan memberi nuansa tersendiri seputar perayaan Natal, dan saya menikmatinya. Tetapi ketika saya mengamati kandang Natal di altar gereja di mana patung bayi Yesus diletakkan pada malam Natal, tiba-tiba hati saya terasa sepi. Semua kemeriahan menjelang perayaan Natal itu terasa tidak sinkron dengan keheningan keluarga kudus Nazareth di kandang hewan itu. Saya bertanya-tanya dalam hati, apa dan siapa yang sebenarnya sedang saya rayakan.
Adven datang dan pergi, Natal tiba dan berlalu, saya tidak ingat apakah saya sudah menjadi lebih baik dan lebih mengasihi dibandingkan tahun-tahun yang berlalu, sementara Yesus sudah datang berkali-kali mengetuk hati saya dengan pesan kerinduan untuk lahir dan menetap di hati saya. Teringat oleh saya keindahan merawati tanaman sampai menghasilkan buah yang bisa dinikmati bersama, yang sering dilakukan oleh suami saya. Saya tidak merasakan kepuasan dan kegembiraan sebesar seperti yang ia alami, karena saya hanya sekedar memetik buah yang sudah jadi dan memakannya, tidak merasakan seninya memilih bibit, capeknya mencabuti rumput liar, dan kedisiplinan memberi pupuk dan menyiram. Rasa buah itu memang manis di lidah, enak dan memuaskan di perut, tetapi saya melewatkan saat-saat penuh usaha yang menghasilkan semua kemanisan itu. Karena saya hanya menjadi penonton, tidak terlibat dalam pengusahaan yang membuat bernilai keberhasilan dari sebuah usaha. Masa Adven sepertinya berlalu begitu saja dengan hambar, jika saya hanya menjadi penonton, tidak terlibat aktif di dalam menanggapi kesempatan indah yang diberikan Tuhan melalui Gereja-Nya, untuk menelisik apa yang masih harus saya benahi di hadapan Tuhan, melalui kegigihan merenungkan Firman-Nya setiap pagi, meluangkan waktu lebih banyak untuk berdoa dan merayakan Misa harian, serta berkumpul dengan saudara seiman untuk saling menguatkan komitmen kasih kita kepada-Nya. Melakukan semua usaha yang perlu, agar buah-buah kasih dan pertobatan yang memberi saya hidup, dapat saya petik dengan manis di hari kelahiran Yesus Tuhanku. Santo Yohanes Pemandi bahkan mengingatkan dengan keras, “Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, akan ditebang dan dibuang ke dalam api.” (Luk3:9)

Hadiah Natal terindah tidak saja berupa benda-benda yang dibungkus dengan cantik, atau hidangan lezat yang disiapkan dengan segenap jerih payah, tetapi bahwa hati saya sudah menjadi palungan yang paling empuk dan nyaman untuk Tuhan berbaring di hari kedatangan-Nya dan berdiam di sana, memberikan saya kekuatan untuk menghasilkan buah-buah kasih yang paling manis yang bisa dinikmati sesama di sekitar saya dan lebih khusus lagi, yang bisa dinikmati oleh Tuhan. Bahagianya bila kita bisa mempersembahkan hadiah paling indah bagi bayi Yesus. Hadiah persembahan hati yang rindu dan siap dibentuk oleh hikmat-Nya, hadiah khusus hasil kerja keras dan usaha pertobatan yang tak kenal lelah, bagi Dia yang telah sudi menjadi seperti kita dan hadir di tengah-tengah kita. Itulah sukacita yang dimaksudkan Tuhan untuk saya hayati di hari kelahiran-Nya, sukacita karena kemenangan atas segala godaan egoisme dan cinta diri. Sukacita karena berusaha mengasihi Tuhan dan sesama dengan lebih sungguh. “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasihKu itu. Jikalau kamu menuruti perintahKu, kamu akan tinggal di dalam kasihKu, seperti Aku menuruti perintah Bapaku dan tinggal di dalam kasihNya. Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacitaKu ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh. Inilah perintahku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.” (Yoh 15: 9-12).

Akhirnya, hari Natal tetap akan tiba, baik saya mempersiapkan diri atau tidak. Tuhan tetap akan datang ke dunia, datang untuk kedua kalinya dengan segala kemuliaan-Nya, dan datang di saat kematian menjemput kita (yang kita tidak pernah tahu kapan), baik kita siap atau tidak. Rahmat dan karunia-Nya telah senantiasa dicurahkanNya dengan berlimpah untuk menopang niat pertobatan kita dan menuntun kita pada jalan kekudusan. Kini pilihan ada di tangan Anda dan saya. Selamat menyongsong Adven minggu ketiga.

Selasa, 19 Juli 2011

Suara yang paling indah

Sebuah cerita bijak yang saya dapatkan dari sebuah situs keagamaan:



Sekedar mengingatkan kita kembali akan pentingnya hidup bersama-sama dalam keharmonisan. Bosan mendengar berita tentang kerusuhan, konflik etnis, dan konflik yang mengatasnamakan agama. Semoga menyadarkan dan mencerahkan bagi kita semua…
*****
Seorang tua yang tak berpendidikan tengah mengunjungi sebuah kota besar untuk pertama kali dalam hidupnya. Dia dibesarkan di sebuah dusun di pegunungan yang terpencil, bekerja keras membesarkan anak-anaknya, dan kini sedang menikmati kunjungan perdananya ke rumah anak-anaknya yang modern.
Suatu hari, sewaktu dibawa berkeliling kota, orang tua itu mendengar suara yang menyakitkan telinga. Belum pernah dia mendengar suara yang begitu tidak enak didengar semacam itu di dusunnya yang sunyi. Dia bersikeras mencari sumber bunyi tersebut. Dia mengikuti sumber suara sumbang itu, dan dia tiba di sebuah ruangan di belakang sebuah rumah, di mana seorang anak kecil sedang belajar bermain biola.
“Ngiiik! Ngoook!” berasal dari nada sumbang biola tersebut.
Saat dia mengetahui dari putranya bahwa itulah yang dinamakan “biola”, dia memutuskan untuk tidak akan pernah mau lagi mendengar suara yang mengerikan tersebut.
Hari berikutnya, di bagian lain kota, orang tua ini mendengar sebuah suara yang seolah membelai-belai telinga tuanya. Belum pernah dia mendengar melodi yang seindah itu di lembah gunungnya, dia pun mencoba mencari sumber suara tersebut. Ketika sampai di sumbernya, dia tiba di ruangan depan sebuah rumah, di mana seorang perempuan tua, seorang maestro, sedang memainkan sonata dengan biolanya.
Seketika, si orang tua ini menyadari kekeliruannya. Suara tidak mengenakkan yang didengarnya kemarin bukanlah kesalahan dari biola, bukan pula salah sang anak. Itu hanyalah proses belajar seorang anak yang belum bisa memainkan biolanya dengan baik.
Dengan kebijaksanaan polosnya, orang tua itu berpikir bahwa mungkin demikian pula halnya dengan agama. Sewaktu kita bertemu deengan seseorang yang menggebu-gebu terhadap kepercayaannya, tidaklah benar untuk menyalahkan agamanya. Itu hanyalah proses belajar seorang pemula yang belum bisa memainkan agamanya dengan baik. Sewaktu kita bertemu dengan seorang bijak, seorang maestro agamanya, itu merupakan pertemuan indah yang menginspirasi kita selama bertahun-tahun, apa pun kepercayaan mereka.
Namun, ini bukanlah akhir dari cerita.
Hari ketiga, di bagian lain kota, si orang tua mendengar suara lain yang bahkan melebihi kemerduan dan kejernihan suara sang maestro biola. Menurut anda, suara apakah itu?
Melebihi indahnya suara aliran air di pegunungan pada musim semi, melebihi indahnya suara angin musim gugur di sebuah hutan, melebihi merdunya suara burung-burung pegunungan yang berkicau setelah hujan lebat. Bahkan melebihi keindahan hening pegunungan sunyi pada suatu malam musim salju. Suara apakah gerangan yang telah menggerakkan hati si orang tua melebihi apa pun itu?

Itu suara sebuah orkestra besar yang memainkan sebuah simfoni.
Bagi si orang tua, alasan mengapa itulah suara terindah di dunia adalah, pertama, setiap anggota orkestra merupakan maestro alat musiknya masing-masing; dan kedua, mereka telah belajar lebih jauh lagi untuk bisa bermain bersama-sama dalam harmoni.
“Mungkin ini sama dengan agama”, pikir si orang tua. “Marilah kita semua mempelajari hakikat kelembutan agam kita melalui pelajaran-pelajaran kehidupan. Marilah kita semua menjadi maestro cinta kasih di dalam agama masing-masing. Lalu, setelah mempelajari agama kita dengan baik, lebih jauh lagi, mari kita belajar untuk bermain, seperti halnya para anggota sebuah orkestra, bersama-sama dengan penganut agama lain dalam sebuah harmoni!”
Itulah suara yang paling indah.


Salah Kaprah: Umat Khatolik, Buddha maupun Kong Hu Cu tidak menyembah patung.

Saya akan menshare satu artikel yang menjelaskan bahwa umat Khatolik terutama tidak menyembah patung. Namun saya juga akan bersikap obyektif disini, berhubung ada anggota keluarga saya yang juga beragama Buddha dan Kong Hu Cu. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa artikel di bawah ini ditujukan oleh pihak lain untuk menyudutkan umat Khatolik ataupun agama resmi lain yang menggunakan sarana patung.


Pendahuluan
Cerita ini adalah yang narasumber alami pada tahun 2000. Saat itu saya sedang mengunjungi sanak keluarga suami yang tinggal di Jawa Tengah. Suami saya tidak ikut, karena sedang bertugas di luar negeri. Karena hampir semua dari anggota keluarga mereka beragama Kristen Protestan, maka pada hari Minggu terakhir sebelum saya pulang ke Jakarta, mereka mengajak saya ikut kebaktian di gereja mereka. Karena saya pikir saya toh masih dapat mengikuti misa sore setibanya saya di Jakarta, maka saya setuju saja, karena saya tidak ingin merepotkan mereka untuk mengantarkan saya spesial ke gereja Katolik.

Kebaktian berlangsung khusuk. Injil hari itu adalah mengenai “mengasihi Allah dan sesama”, dan Bapak Pendeta mengutip kesepuluh Perintah Allah yang ada di Kitab Keluaran 20. Ayat ke-3 menekankan supaya kita tidak menyembah allah yang lain selain Allah Tritunggal. “Oh, sama dengan ajaran Gereja Katolik”, pikir saya. Namun penjelasan ayat yang ke-4 dan ke-5 membuat saya terhenyak. Saat itu, beliau meminta seseorang untuk memberikan selembar uang kertas sebagai contoh. Katanya perintah Tuhan pada kedua ayat ini seperti halnya uang kertas, harus tercetak di sisi atas dan di sisi baliknya, kalau tidak, uang tersebut tidak berlaku. Maka kedua ayat itu harus diterapkan sekaligus, karena jika tidak artinya kita melanggar perintah Allah. 

Maka Pak Pendeta mengatakan kita tidak boleh membuat patung yang menyerupai apapun di langit dan di bumi, dan tidak boleh menyembahnya. Dia menyebutkan ‘kekeliruan’ gereja lain (beliau tidak menyebutkan Gereja Katolik) yang mengajarkan bahwa membuat patung itu boleh saja, asalkan kita tidak sujud menyembahnya sebagai Allah. Kemudian, beliau bertanya kepada jemaat, siapa dari antara hadirin yang berpendapat demikian. Hati saya bergemuruh, karena yang saya tahu, yang dilarang adalah membuat ‘patung’ yang kemudian disembah sebagai Tuhan. Jadi, saya memutuskan untuk mengangkat tangan saya, walaupun saya dipandang dengan tatapan aneh oleh banyak yang hadir. 
Hanya ada dua orang (termasuk saya) yang mengangkat tangan, dari sekitar 400 orang yang hadir. “Anggapan yang keliru”, kata Bapak Pendeta, dan saya bertekad dalam hati untuk menjelaskan hal ini kepadanya setelah kebaktian.

Sayangnya, saya tidak berkesempatan untuk bertemu dengan Pak Pendeta setelah kebaktian. Saya pulang ke Jakarta dengan hati gundah. Satu minggu berikutnya saya isi dengan mempelajari Kitab Suci dan buku-buku ajaran Gereja Katolik mengenai hal patung ini. Minggu berikutnya saya menulis surat kepada beliau, dengan menuliskan ayat-ayat Alkitab yang menjadi dasar bagi Gereja Katolik yang menganggap bahwa membuat patung, memajang patung ataupun berdoa di depan patung bukanlah suatu penyembahan berhala, asalkan kita tidak tunduk menyembah patung itu dan menganggapnya sebagai Tuhan. 

Sampai sekarang, saya tidak pernah menerima balasan dari Bapak Pendeta tersebut. Namun, saya hanya berharap agar beliau dapat memahami dasar pengajaran Gereja Katolik dalam hal patung ini dan tidak beranggapan bahwa Gereja Katolik mengajarkan sesuatu yang ‘keliru’.

Surat kami kepada Bapak Pendeta

Berikut ini saya sertakan surat kepada Bapak Pendeta tersebut, yang sesungguhnya dapat ditujukan juga kepada siapa saja yang menganggap orang Katolik menyembah patung:
Salam damai dalam kasih Kristus,
Pertama-tama saya ingin mengucapkan terimakasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Kebaktian Minggu tanggal 17 September 2000, yang bertemakan “Kasihilah Tuhan dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu, dan kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri”.
Saya terkesan dengan kotbah tersebut, hanya ada beberapa bagian yang berbeda dengan pengajaran di dalam Gereja saya, yaitu Gereja Katolik. Memang, Pak Pendeta tidak menyebut langsung ‘Gereja Katolik’ dalam khotbah Bapak, tetapi saya merasa terdorong untuk menjelaskan hal itu mengingat banyaknya kesalahpahaman yang terjadi antara jemaat Kristen Protestan dangan kami umat Katolik.
Dan setelah mendiskusikannya dengan suami saya, maka kami memutuskan untuk menulis surat ini dalam semangat kasih persaudaraan dalam Kristus.
Kami menyadari, bahwa perbedaan adalah hal yang wajar. Dan dengan semangat mencari kebenaran itu sendiri yang berasal dari Tuhan, kami ingin menjelaskan hal-hal dan latar belakang, serta dasar iman Katolik yang berkaitan dengan kotbah Bapak pada saat itu, yaitu mengenai ayat:

Keluaran 20:3-5 (menurut : Lembaga Alkitab Indonesia, 1999)
3)Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.
4)Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.
5)Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, Tuhan, Allahmu, adalah Allah yang cemburu yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci aku.
Menurut khotbah Bapak, ayat yang ke-4 dan ke-5 tidak dapat dipisahkan, sehingga artinya adalah kita tidak boleh membuat patung, dan tidak boleh menyembah sujud kepadanya.
(Analogi yang Bapak sampaikan pada waktu itu adalah uang kertas dua puluh ribu rupiah yang memiliki 2 sisi). Jadi anggapan bahwa membuat patung itu diperbolehkan asal tidak sujud menyembahnya, dianggap KELIRU.

Bagaimana umat Katolik menggunakan image/gambaran/patung:

1. Sebagai salah satu alat bantu umat untuk lebih menghayati kedekatannya dengan Yesus Kristus.
Penggunaan patung, lukisan, elemen artistik lainnya bagi umat Katolik adalah untuk membantu mengingat seseorang atau sesuatu yang digambarkannya. Sama seperti seseorang mengingat ibunya dengan melihat fotonya, demikian juga umat Katolik mengingat Yesus, Maria dan orang kudus lainnya dengan melihat patung/ gambar mereka. (Lagipula, Yesus sendiri sebagai Sang Putera Allah telah menjadi manusia, sehingga Yesus sendiri telah menjadi ‘gambaran Allah yang nyata.’ (lihat Kol 1:15) Karena itu, dengan kedatangan Yesus ke dunia, Allah yang tak kelihatan menjadi kelihatan, Allah yang dalam Perjanjian Lama dilarang untuk digambarkan, maka di Perjanjian Baru malah dinyatakan sebagai ‘gambar hidup’ di dalam diri Yesus. Jadi Yesus memperbaharui ‘tata gambar’ tentang Allah, sebab Ia adalah gambaran Allah sendiri.) Renungkanlah ini: Jika di rumah kita memasang gambar/ foto keluarga kita, mengapakah kita tidak boleh memasang gambar/foto Tuhan yang kita sayangi? Gambar/ patung Tuhan Yesus dipasang tidang untuk disembah, tetapi hanya untuk mengingatkan kita tentang betapa istimewanya Ia di dalam hidup kita.

2. Sebagai sarana pengajaran
Umat Katolik juga menggunakan image/gambar/patung sebagai sarana pengajaran, seperti yang diterapkan juga oleh umat Kristen lain terutama dalam mengajar anak-anak di sekolah minggu, seperti: menerangkan siapa Tuhan Yesus, mukjijat yang dibuatNya, dll dengan gambar-gambar. (Kita mengetahui bahwa masalah ‘buta huruf’ baru dapat dikurangi secara signifikan di Eropa pada abad ke-12; bahkan untuk negara-negara Asia dan Afrika baru pada abad 19/20. Jadi tentu selama 12 abad, bahkan lebih, secara khusus, gambar-gambar dan patung mengambil peran untuk pengajaran iman, karena praktis, mayoritas orang pada saat itu tidak dapat membaca! Penggunaan gambar/ patung untuk maksud pengajaran ini tentu bukan berhala, karena mereka akhirnya malah menuntun orang beriman kepada Tuhan. Hal serupa terjadi waktu kita pertama kali mengajar anak-anak kecil mengenali benda-benda tertentu. Kita membuat/ menunjukkan pada mereka gambar-gambar sederhana, seperti apel, ikan, rumah, dst. Tentu saja hal ini tidak bertentangan dengan perintah Tuhan. Jadi membuat gambar yang menyerupai sesuatu di sekitar kita bukan merupakan dosa asal kita tidak menyembah gambar- gambar itu)
.
3. Digunakan untuk peristiwa-peristiwa tertentu
Umat Katolik juga menggunakan hal tersebut dalam kesempatan tertentu, sama seperti umat Kristen pada umumnya mempunyai patung-patung kandang natal, gambar peristiwa natal, atau mengirim kartu natal bergambar pada hari natal. (Jika membuat segala gambar/ patung yang menyerupai segala sesuatu dianggap dosa, apakah berarti kebiasaan mengirimkan kartu Natal dan menghias pohon Natal dengan kandang Natal, adalah dosa? Jika ya berarti bahkan menonton TV pun adalah dosa, melihat segala buku bergambar adalah dosa, menggambar/ melukis adalah dosa, karena semua objeknya adalah segala sesuatu yang ‘menyerupai apapun yang di langit dan di bumi’).


dikutip dari : www.katolisitas.org/narasumber.

So, intinya walaupun ini artikel tentang Khatolik, namun sungguh menjelaskan bahwa Umat Khatolik ataupun Buddha tidak pernah memandang bahwa patung itu lah yang disembah, namun pribadinya. terlepas dari pribadi dalam agama itu masing-masing.;)

Semoga berguna..
Salam